Sepakat Itu Susah

Categories: Blog

Rencana Tuhan itu sempurna. Karena Allah sempurna. Tapi manusia yang ada di dalamnya yang tak sempurna. Kita suka menggeliat, menghindar dari pegangan tanganNya. Kita berbelok dan bahkan kadang berbalik arah, walau tak sadar lokasi apalagi posisi. Kita sering mencari jalan sendiri sampai akhirnya tersesat, akibat ingin menggapai rencana Tuhan dengan cara dan pengertian manusia yang terbatas ukuran kepala.

Lalu waktu tersesat kita malah akan bertanya, berteriak, protes keras. “Mengapa aku harus menunggu lama? Mengapa rencanaMu belum terjadi? Pasti Engkau sedang mempermainkan aku!”. Beberapa orang menjadi pahit dan mempertanyakan Tuhan, beberapa memutuskan meninggalkan Dia. Berjalan sama sekali terpisah dari kehendakNya.

Di sisi lain yang lebih kompleks adalah apa yang saya sebut dengan “ketaatan yang semu”. Karena dalam taat pun belum tentu ada sepakat. Saya pribadi misalnya, tidak pernah berputar balik. Saya selalu berjalan lurus ke depan, mengklaim sebagai orang yang taat terhadap visi Allah. Saya menjunjung tinggi kata “ketaatan”, setengah sombong malah, bahwa saya dan ketaatan berteman baik. Tapi baru-baru saja saya sadar -atau tepatnya disadarkan- kalau taat saja tidak cukup. Taat, tanpa sepakat -dengan caraNya- membuat Tuhan seperti sedang menarik truk tronton yang mogok pada jalan yang menanjak. Saya berjalan mengikuti Dia, tapi saya tak percaya bahwa itu yang terbaik. Saya mempertanyakan segala sesuatu selagi saya berjalan. Saya mencobai Allah dengan keragu-raguan. Alhasil, Allah menarik truk tronton. Untung saja Ia tak melepaskannya dan membuat saya meluncur ke bawah. Kembali ke titik awal. Untung saja Ia berkuasa untuk menarik hati seberat dan seragu apapun. Untung saja kasihNya begitu mulia sehingga keragu-raguan saya diampuniNya. 

Bersyukur, bahwa kesempurnaan Allah yang akan menyempurnakan kita. Bersyukur bahwa dalam suatu waktu yang cukup lama setelah saya memulai perjalanan bersama Tuhan, saya akhirnya menemukan kata sepakat itu, yang selama ini entah terselip di bagian mana di dalam jiwa saya. Dan saya dikejutkan, dibuat terpana akan betapa cepatnya keadaan berubah, apabila kita bersepakat dengan Allah. Seperti sebuah kisah di Israel 2000 tahun yang lalu, saat perahu murid-murid Yesus dilanda angin sakal, dan Yesus berjalan di atas air mendatangi mereka, 

“Lalu Ia naik ke perahu mendapatkan mereka, dan angin pun redalah.” Markus 6:51a (TB)

Angin itu reda seketika saat Yesus menapakkan kakiNya ke dalam perahu. Ayat ini berbicara bukan hanya tentang melibatkan Tuhan dalam hidup kita, tapi lebih lagi berbicara tentang kesepakatan dengan Tuhan. Dan betapa cepat keadaan akan berubah, bila kita mau bersepakat dengan Dia. Bersepakat dengan caraNya, waktuNya, rencanaNya, dan kehendakNya yang mungkin tak dapat dipahami oleh kemanusiaan kita. 

Semoga taat dan sepakat tetap berjalan bersama-sama dalam hidup kerohanian kita. Sebab urusan mengubah keadaan adalah urusan Tuhan. Dan sekali lagi, itu masalah sepele untuk Sang Pencipta Semesta. Tapi soal bersepakat dengan Allah, itu adalah bagian terpenting yang harus dikerjakan manusia.

Author: Sarah A. Christie

Leave a Reply