KISAH DUA COBLOSAN

Categories: Blog,Christian Life,Devotion,Jesus Christ

Bicara soal coblosan, bulan ini sebenarnya ada dua hal yang dicoblos. Pertama-tama tentu saja surat suara, coblosan kamu menentukan masa depan bangsa ini bakal dikelola oleh tangan siapa. Seseorang yang jarang berbicara tapi banyak bekerja, atau seseorang yang lebih suka mencela dan menyebarkan berita dusta. Pilihan, sekali lagi, ada di jari-jemarimu. Mari cobloslah dengan bijak lima surat suara itu, jangan memilih abstain. Golput hanya berarti kita egois. Apalagi kalau alasannya semata-mata ‘malas’. Itu lebih dari egois. Itu bodoh. Karena satu suara yang tidak tercoblos memberi kesempatan untuk kecurangan terjadi. Dan jangan berteriak atau panik, kalau ternyata orang yang “salah” duduk di kursi kepemimpinan akibat terlalu banyak orang abstain. Jadi sekali lagi pastikan kamu telah terdaftar untuk mencoblos, dan mencobloslah dengan bijaksana.

Coblosan yang kedua, sebenarnya terjadi dua ribuan tahun yang lalu, ketika Seseorang “dicoblos” tangan dan kakinya dengan paku yang mungkin lebih besar dari obeng. Coblosan itu juga akhirnya menentukan masa depan kita, orang-orang yang disebut pengikutNya. Nasib kita berubah saat Ia memberi tangan dan kakiNya kepada paku, membiarkan darahNya mengalir deras waktu tentara-tentara Romawi menggantung Dia di sebuah salib kayu, menggantikan kita.

Ihwal “pencoblosan” itu juga terjadi karena demokrasi. Tapi demokrasi yang bobrok. Demokrasi yang korup, kehilangan nilai moralnya. Demokrasi yang kebablasan, yang sarat hoaks dan fitnah, di mana kebenaran dipendam dan kebohogan disebarkan. Mirip dengan yang terjadi sekarang ya? Tapi tidak, masa itu jauh lebih parah. Waktu itu hukum dapat dibengkokkan oleh kepentingan-kepentingan. Seseorang dapat dibunuh oleh suara massa, dan bahkan kebebasannya ditukar dengan kebebasan seorang narapidana. Sebuah plot twist yang menyedihkan.

Tapi peristiwa ini memang harus terjadi, karena Ia yang dipaku di kayu salib itu sedang menjalankan sebuah tugas dari luar bumi, bahkan langsung dari Istana Kenegaraan Surga. Sebuah perintah yang diembankan kepadaNya, karena memang hanya Dia yang mampu melakukannya. Sebuah misi untuk menebus dosa seluruh umat manusia. Misi, yang orang paling suci di dunia ini pun takkan bisa. Karena semua dosa itu harus ditebus oleh manusia yang tak pernah berdosa, tanpa alpa. Seseorang yang adalah pemilik sah tahta Surga. Ia-lah kandidat satu-satunya. Nasib seluruh dunia tergantung di pundakNya.

Kalau kamu menonton film terbaru DC, Shazam, ada satu adegan di mana Billy Batson memanggil teman-temannya untuk menjadi superhero bersama-sama dengan dia, dengan cara memegang tongkat penyihir yang telah memberinya kekuatan. Alhasil, saat mereka memegang tongkat itu bersama-sama, teman-teman Billy pun ikut menjelma menjadi superhero dengan kekuatan-kekuatan unik.

Itulah yang dalam imajinasi liarku, terjadi dua ribu tahun yang lalu di kayu Salib. Bedanya, saat Ia Sang Raja Segala Raja itu dipaku di Salib, suatu pertukaran terjadi. Ini bukan perkara satu arah. Tepat waktu penyaliban, Ia menarik kegelapan dari dalam kita, menyerap dosa-dosa kita ke dalam tubuhNya. Lalu menukarnya dengan terang, dengan kehidupan, dengan kesempatan kedua, dan dengan pengampunan. Hari itu juga Ia memberikan kita kewargaan Surga.

Dan sama seperti Billy Batson yang mendapatkan teman-temannya menjadi superhero sama seperti dia, begitu pula Sang Raja mendapatkan kita kembali serupa dengan Allah. Keserupaan yang sempat rusak karena dosa, dipulihkan kembali di dalam kita. Oleh karena satu Pribadi, yang tidak menyayangkan kemuliaanNya, rela menanggalkan jubah Kerajaan dan meninggalkan kemewahan tahta Surga, lalu turun ke dunia hanya untuk dicoblos dengan paku dan dicemooh para penguasa bumi. Itulah pengorbanan. Itulah kearifan. Itulah kasih dalam bentuk yang tertinggi. Kasih yang seharga nyawa Seorang Raja.

NamaNya Yesus. Dialah Pria tak bersalah yang dipaku di Salib, demi dosa manusia. Dialah Inkarnasi Allah yang telah menukar kita dengan diriNya di panggung hukuman. Sehingga satu kali untuk selamanya, Ia mengakhiri ancaman dosa. Ia menyelesaikannya di atas sana, lebih kurang 7 kaki dari tanah. Setiap sesahan, luka, cela, duka yang seharusnya kita terima, Ia telah menanggungnya. Ia mengganti cucuran air mata kita dengan tawa. Ia memberi kita kesempatan kedua.

Dan kini aku mengangkat tangan tanda segenap hormatku kepadaNya. Sebab tak ada yang dapat melakukan apa yang telah Ia lakukan. Tak ada yang sanggup, dan tak ada yang perlu melakukannya lagi.

Aku ingin mengakui dengan terbuka, bahwa akulah yang telah mencoblosNya dan memaku Dia di kayu Salib. Aku dan dosa-dosaku. Aku dan kealpaanku. Aku dan segala nafsuku. Aku dan segala keduniawianku. Itu sebabnya setiap kali aku melihat Salib, aku teringat Yesus dan segala pengorbananNya. Kematian dan kebangkitanNya. Aku teringat setiap hal baik yang aku rasakan sekarang oleh karena Dia. Aku teringat betapa jauhnya sekarang jarak antara aku dengan neraka. Hidupku dalam kekekalan telah ditulis ulang, dan Surga menjadi tempat kisahku berlanjut nanti.

Aku hanya dapat bersyukur bahwa aku mendapat hidup karena Ia bersedia mati untukku. Tak ada yang pernah melakukannya, dan tak ada yang perlu melakukannya lagi. Dan Ia bangkit pada hari yang ketiga, sebab Ia tahu, tak satu pun orang di dunia ini dapat hidup tanpaNya.

Jadi dalam rangka dua “coblosan” ini, mari kita melakukan yang satu dengan damai, dan memperingati yang satu lagi dengan khidmat, dengan hormat yang sangat, dengan rasa syukur, dan dengan kasih.

 

Author: Sarah A. Christie

Leave a Reply