Percaya tidak percaya, komparasi adalah bukti tinggi hati. Kalau kita membandingkan diri dengan mereka yang lebih baik, kita merasa minder atau malah putus asa. Kalau membandingkan dengan mereka yang tidak lebih baik, kita merasa bangga. Sebab perbandingan meletakkan fokus pada semua fakta mengenai diri kita. Apa yang kita punya, apa yang kita sudah lakukan, apa yang kita inginkan. Tidak ada yang lebih tinggi hati daripada fokus pada diri sendiri.

Tetapi ketika kita mulai mengalihkan fokus, dari diri kita kepada Allah, kita akan meninggalkan perbandingan dan mulai melihat kebenaran, bahwa hidup kita sungguh sangat istimewa, karena kita dicipta khusus demi memenuhi rencana kemuliaanNya. Rencana, yang unik dan spesifik untuk setiap kita. Maka fokus tidak lagi pada kita, tetapi kepada Allah. Tidak lagi pada pencapaian kita tapi kepada perwujudan rencanaNya. Hidup tidak lagi bagi kita, tapi bagi Allah. Pada saat itulah, komparasi akan berganti ucapan syukur, dan ucapan syukur dengan sendirinya menjadi penawar yang manjur bagi racun komparasi.

Mengapa? Karena ucapan syukur mendatangkan rasa puas. Rasa puas tidak menuntut lebih, dan tidak merasa kurang. Rasa puas menikmati hidup sebagaimana hidup itu ada. Rasa puas bahkan mengalahkan ketakutan dan menghapus kekawatiran. Rasa puas mengatakan “cukup” untuk segala sesuatu dan tidak meminta lebih banyak dari yang Allah berikan. Rasa puas mengakui kedaulatan Allah sebagai Sang Pemberi. Kalau Ia memberi banyak, Ia-lah Allah. Kalau Ia memberi sedikit, Ia-lah Allah. Kalau Ia mengijinkan kebesaran, Ia-lah Allah. Kalau Ia mengijinkan kesederhanaan, Ia-lah Allah.

Jadi, waktu hidup ini sepenuhnya fokus kepada Allah, dan segala rencanaNya tentang hidup kita, tanpa ambisi untuk membuat hidup sedikit lebih tentang kita daripada tentang Dia, itulah -bagi saya- titik kerendahhatian yang sempurna.

Saya harus akui, saya belum sampai ke sana. Tapi saya melihat beberapa orang yang sudah tiba di sana, dan mereka bahagia. Mereka puas. Doa saya, suatu hari saya juga sampai pada pengenalan yang sempurna akan Dia, sehingga semua nafsu dunia itu lenyap dan hati pun berlimpah segala kepuasan sorgawi, karena saya “penuh” akan Dia, kenyang akan Dia, dan hanya Dia. Allah-lah kepuasan yang sejati. Dialah sumber. Dialah pusat. Dialah Alfa. Yang Terutama dari segalanya. Dialah Omega. Yang Kekal. Dialah definisi hidup kita. Bukan apapun yang jasmaniah. Bukan apapun yang kasat mata. Bukan apapun yang dicandu panca indera. Ya, Dialah Definisi. Dialah Awal Mula. Dialah Garis Finish. Dialah hidup.

Author: Sarah A. Christie

Leave a Reply