Manusia sebenarnya terlatih untuk berhenti. Berhenti saat lampu merah misalnya (Oke saya akui, kadang kita tidak berhenti karena berbagai macam alasan yang ‘spektakuler’. Tapi yang penting tahu benar, bahwa lampu merah maksudnya berhenti). Umat-umat dari beberapa agama dan kepercayaan berhenti bekerja pada jam tertentu untuk menuntaskan ibadahnya. Dalam setahun, kita pun pasti pernah sekejap menghentikan segala aktifitas demi pergi berlibur dan mengembalikan semangat yang memudar. Bahkan di dunia teknologi sempat terjadi, Samsung menghentikan semua sengketa hukum melawan Apple sesaat ketika Steve Jobs meninggal, hanya untuk memberikan penghormatan terakhir kepada sang pionir gadget.
Kita terlatih untuk berhenti. Dalam kapasitas yang sama dengan bagaimana kita terlatih untuk bergerak maju. Oleh karena itu pergerakan dan perhentian harus terjadi secara bergiliran, dan berkesinambungan, demi tercapainya keseimbangan hidup. Saya tidak tahu, apakah ada teori relativitas atau teori kuantum yang membenarkan hal ini, but it works… Berhenti untuk suatu alasan yang tepat, itu justru mendukung segenap fungsi kehidupan.
Bahkan Tuhan berhenti di hari ketujuh, untuk merenungkan dan memperhatikan semua ciptaanNya. Melihat semua yang Ia ciptakan itu baik membersitkan damai sejahtera di dalam benakNya.
Jadi di hari terakhir tahun ini, saya memutuskan berhenti sejenak. Saat nanti jam berdentang dua belas kali, hitungan mundur dimulai, terompet ditiup sekuat tenaga, confetti diletupkan di mana-mana, sorak-sorai berkumandang, kembang api mewarnai langit malam menyambut pagi tahun yang baru, dan kita memeluk semua orang yang kita kasihi, mungkin sesaat setelah itu, saya akan berhenti, demi beberapa menit melayangkan syukur kepada Allah.
Saya bersyukur untuk tahun 2016. Ini tahun yang hebat. Bukan tahun yang mudah, tapi penyertaanNya yang sempurna membuatnya menjadi tahun yang hebat. Sebuah pengalaman adventuris yang mengesankan.
Saya bersyukur untuk dua belas bulan pemeliharaan Tuhan. Tapi maksud saya, Ia tidak datang sebulan sekali dan memberikan wejangan serta sejumlah peralatan untuk melindungi diri, lalu pergi hingga 30 hari lagi. Tidak, ia bersama kita sepanjang tahun. Pemeliharaannya begitu nyata dalam segala peristiwa. Hingga hal-hal terkecil, ya bahkan termasuk keinginan-keinginan yang paling tidak signifikan. Ia memperhatikannya, dan membuktikan kalau Ia Allah yang mendengar dan menjawab doa, sekaligus bisikan hati yang paling sunyi. Dan karena Ia-lah Raja Kekekalan, di mana waktu jadi prajuritNya, masa dan momen pun taat kepada perintah-perintahNya. Maka sepanjang tahun, tak ada satupun jawabanNya yang pernah terlambat. Mereka taat pada penentuan Sang Pencipta.
Masih banyak yang ingin saya syukuri, tapi semakin saya berusaha mendatanya di dalam kepala yang hanya berdiameter sekian puluh cm ini, semakin tak terukur kebaikan yang saya ingat. Juga perkenananNya, cintaNya, apalagi kesabaranNya terhadap kealpaan saya. Seperti kata Rasul Yohanes, bila semuanya harus dituliskan satu persatu, dunia ini tidak akan dapat memuat semua kitab yang ditulis (Yohanes 21, ayat terakhir). Alhasil saya bersyukur hingga tidak dapat menemukan kata yang tepat untuk mengucapkan syukur saya. Jadi selanjutnya dalam perhentian ini saya mungkin akan berdiam diri, dan menikmati saja, indahnya perjalanan yang telah lalu, juga perjalanan yang akan segera dimulai.
Yang terakhir, bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk melihat semua corak ceria kembang api di depan rumah saya. Rupanya oksigen masih mengalir dengan sempurna di dalam badan ini. Itu saja sebuah alasan untuk merayakan kehidupan.
Selamat Tahun Baru bagi kita semua. Tuhan Yesus memberkati.
Leave a Reply