Sebenarnya masa lalu itu penting. Orang bilang jangan ingat-ingat masa lalu, tapi masa lalu membuat kita belajar membangun masa depan yang lebih baik. Dalam tragedi yang terburuk sekalipun, Roma 8:28 berlaku di sana. Siapa kita yang tidak mengalami, bahwa karena kesalahan masa lalu, kita telah menjadi orang yang lebih baik sekarang?
Jadi sikap yang paling benar terhadap masa lalu adalah ‘belajar’. Biarkan masa lalu mengajar. Biarkan masa lalu mendidik dan menyatakan kesalahan. Biarkan masa lalu mendorong perubahan karakter. Lalu berjalanlah meninggalkan masa lalu di belakang. Dia tak perlu ikut ke masa depan sebagai sarana intimidasi bagi diri sendiri. Seolah-olah kita memerlukan sesendok intimidasi setiap hari untuk memacu kualitas kinerja kita dalam membangun kehidupan. Padahal yang kita butuh itu motivasi, bukan intimidasi, rasa bersalah atau penyesalan yang bertumpuk dikepala dan membuat bahu terasa berat. Jangan-jangan orang lain melihat kita seperti klingon, karena terlalu banyak memikirkan masa lalu.
Lagipula masa depan punya kemungkinannya sendiri. Masa lalu hanya boleh jadi pengamat dan pengingat di masa kini. Sesekali bolehlah dia muncul dan menjadi tolok ukur perbuatan. Apakah aku sudah menjadi orang yang lebih baik? Apakah responku terhadap masalah sudah lebih bijaksana? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tentu harus diukur dengan menempatkan garis start di masa lalu. Tapi tak lebih dari itu.
Yang penting juga masa lalu harus bisa menempatkan diri. Ia harus tahu tempat dan giliran. Giliran bicaranya datang kalau manusia butuh fakta yang bermanfaat bagi perubahan karakter. Lepas dari itu, masa lalu harus duduk di bangku penonton. Dan biarkan manusia menjalani kehidupan.
Leave a Reply