Saya pikir saya sedang berada di jaman di mana kemajuan teknologi sedang berlangsung dengan pesatnya. Dalam 20 tahun terakhir kehidupan saya, saya telah mengecap teknologi demi teknologi yang berkembang secara signifikan. Terutama dalam cara saya mendengarkan musik. Saya mulai mendengarkan musik di waktu SD dengan kaset, dan akan sangat senang kalau mempunyai “walkman” yang bisa memutar kaset favorit saya di mana saja. Walkman, -pemutar kaset portabel itu- segera jadi idola dan incaran para remaja tahun 90an. Hanya bunyi “shhhhh” gesekan pita saat ingin mengulangi satu track tertentu di kaset memang khas dan sedikit mengganggu, apalagi bila kita tak dapat menghentikan tombol rewind di posisi yang benar. Tapi lama-lama kita akan jadi pemutar kaset yang berpengalaman dan dapat memutar balik kaset tepat sebelum lagu dimulai. Keahlian itu akhirnya jadi seni tersendiri.

Lalu beberapa tahun kemudian muncullah CD. Itu mungkin mulai marak dan menjamur di masa SMP dan SMU. Saya masih ingat bisnis pertama saya adalah menjual mixed tape/CD berisi lagu-lagu pesanan teman-teman saya. Saya dan kakak saya akan membuat paket Love Songs atau Top 40 untuk dipesan. Laris manis waktu itu. Pemasukan tambahan yang lumayan pula.

Selang beberapa tahun lahirlah MP3 player, dan tokoh paling sukses di generasi ini, iPod. Luar biasa, kaset dan CD langsung kehilangan pamor. Ini mungkin meledak pada masa akhir kuliah saya. Saya masih ingat mp3 player pertama saya, bukan sebuah iPod, dan iPod pun segera menggantikannya. Begitu hebatnya iPod mendefinisikan ulang cara mendengarkan musik. Saya tidak perlu lagi mendengar bunyi “shhhhh” itu waktu ingin memutar ulang lagu favorit saya. Cukup menekan tombol rewind atau forward, saya mendapatkan apa yang saya inginkan. Saya bahkan bisa membuat playlist, di mana semua musik favorit saya berkumpul di sana dan bermain secara bergiliran. Satu persatu menghibur telinga saya. Kadang mereka mengejutkan saya dengan mengacak-ngacak giliran mereka muncul, mereka menyebut itu shuffle.

Lalu kini, di masa sekarang ini, muncullah cloud… tempat musik-musik favorit saya dapat berkumpul secara permanen dan saya dapat mengakses mereka dari mana saja dengan alat apa saja. Jadi sekarang ceritanya beda. “Alatnya” tidak terlalu penting. Yang penting adalah musik saya ada di mana-mana dan saya pasti dapat mendengarnya kalau saya mau. Sebenarnya ada di satu tempat. Tapi tempat itu seperti melayang-layang di udara di tengah gelombang-gelombang internet. Makanya disebut “cloud”. Jadi selama gelombang-gelombang itu masih berkeliaran di sekitar saya, saya pasti dapat mengakses musik-musik saya.

Jadi dalam 20 tahun terakhir, saya mengalami perubahan yang drastis dan signifikan dalam cara saya mendengarkan musik. Begitu hebatnya teknologi berkembang. Begitu cepat, signifikan, dan mutakhir. Kalau saya memikirkannya kembali saya merasa sedang hidup di masa yang hebat. Kalau saya hidup di tahun 1800an, perkembangan teknologi mungkin tak secanggih saat ini.

Namun lalu ada pertanyaan lain mengernyit di batin saya. Ya, andai pertanyaan itu punya wajah ia pasti sedang mengernyitkan dahinya sambil bertanya-tanya…

Apakah pertumbuhan rohani saya, dan pengenalan saya akan Tuhan, telah mengalami revolusi yang begitu signifikan, seperti revolusi yang saya alami dalam teknologi mendengarkan musik? Apakah dalam 20 tahun terakhir, kehidupan spiritual saya telah mampu berubah, berkembang, bertumbuh, maju, ber-evolusi, dari sebuah kaset yang sederhana menjadi teknologi cloud yang super canggih?

Sebanyak dunia berubah dan sehebat dunia ber-evolusi, semestinya pertumbuhan rohani kita lebih dari semuanya itu. Karena setahu saya, Surga punya terlalu banyak hal yang saya tidak tahu. Terlalu banyak hal yang belum saya ‘temukan’. Terlalu banyak hal yang perlu saya pelajari. Terlalu banyak perubahan yang belum terjadi, kalau saya tidak mulai berubah dari sekarang.

Semoga 20 tahun ke depan, kalau teknologi memutuskan untuk merevolusi lagi cara mendengarkan musik, atau cara memasak makanan, atau cara menyalakan lampu, atau memetamorfosis mobil saya menjadi sebuah mobil terbang, semoga pada saat itu, pengenalan saya akan Tuhan dan pertumbuhan kerohanian saya juga berkembang sehebat perubahan yang saya temukan di dunia. Kalau tidak, saya mungkin harus masuk museum rohani.

Author: Sarah A. Christie

Leave a Reply