Kisah Kasih Sang Pemimpi

Categories: Blog,Christian Life,Devotion,Kehidupan Rohani

Helaan nafas adalah reaksi yang normal saat seorang pemimpi harus, untuk sementara waktu ini, berdiri berhadapan dengan kenyataan. Seandainya hanya ada impian, atau hanya ada realita, sehingga kita tak harus menyambungkan keduanya, membandingkan keduanya, berusaha mencari celah antara keduanya, memaksa mereka agar muat dalam satu kotak, atau mencari cara-cara yang masuk akal untuk memahami mengapa mereka seolah-olah berada di dua planet yang berbeda. Meski aku yakin, baik impian maupun realita, mereka ditakdirkan untuk bersama, bersatu di puncak kehidupan, demi lahirnya kebahagiaan.

Setahuku, kalau realita ingin bersatu dengan impian, ada sebuah substansi yang bernama ‘harapan’. Harapan ini adalah elemen pelihat kesempatan. Tapi harapan ini seperti jalan yang belum selesai, dan tak semua orang adalah pembangun-pembangun jalan harapan yang hebat. Kadang mereka berhenti di tengah jalan, karena tak percaya pada keajaiban. Ini benar-benar kisah klasik si punuk merindukan bulan. Impian bersorak dari kejauhan, “Mengapa kamu tak percaya kalau kamu bisa mencapai aku? Aku jauh, tapi aku tak sejauh yang kamu bayangkan”. Realita yang lelah dengan kehidupan berkata lirih, “Aku ingin mencapai kamu, tapi aku menghalangi diriku sendiri”. Ke mana selesainya cerita ini? Kapan realita akan bertemu dengan impian? Tentu saja, kalau ada yang bersikeras membangun jalan harapan itu dan menyelesaikannya. Yang ini, butuh kerjasama yang solid antara manusia dan Tuhan.

Author: Sarah A. Christie

Leave a Reply