Saya sedang melihat tayangan di History Channel, waktu Tuhan menaruh sebuah fakta yang mencengangkan dan cukup memilukan di hati saya. Saya bahkan harus menahan beberapa hari untuk menuliskan ini sebab fakta yang Tuhan perlihatkan itu adalah sesuatu yang tak menyenangkan untuk didengar, dan sebuah perbandingan yang tak layak bagi Tuhan, tapi toh kita manusia melakukannya. Kita terlalu sering memandang Tuhan ‘biasa-biasa’ saja dan memandang banyak hal lain di dunia ini ‘luar biasa’. Kita menukar-nukar prioritas dan berpikir itu tidak masalah bagi Tuhan.
History Channel tengah menayangkan tentang seseorang yang begitu menyayangi anjingnya dan membawa hewan peliharaannya itu ke mana pun ia pergi, padahal hal tersebut sangat merepotkannya. Selang beberapa waktu, acara yang berbeda diputar, namun mengisahkan hal yang sama, tentang seseorang yang begitu menyayangi hewan peliharaannya dan membawa mereka ke mana pun ia pergi. Tampaknya semakin banyak orang tak dapat dipisahkan dari hal-hal yang mereka sayangi. Hal itu kelihatan mengharukan dan menyentuh hati bukan? Tapi Tuhan mengatakan kepada saya, “Ada berapa banyak orang membawa hal-hal dan benda-benda kesayangannya ke mana pun mereka pergi, tapi meninggalkan Aku di rumah?”
Terlalu sering, sudah terlalu sering, kita mengidolakan hal-hal yang kita sayangi, lebih daripada Tuhan. Kita mungkin tidak menyadari, atau ingin menyangkal kenyataan ini, tapi itu terjadi. Ada orang yang begitu peduli pada hewan, hingga sepertinya hewan itu menjadi pusat kehidupannya, alasan ia hidup. Ada yang peduli pada barang-barang, mobil, tas, atau alat-alat musik, dan merawat benda-benda mati itu seolah mereka memiliki perasaan. Lalu ada orang-orang, suami, istri, anak-anak, atau sahabat karib, yang mendapatkan segenap perhatian, waktu dan pengorbanan kita. Benar, orang-orang penting bagi kita. Allah bahkan memerintahkan manusia untuk mengasihi sesama, namun menaruh mereka di tempat yang seharusnya milik Allah, adalah bentuk modern penyembahan berhala.
Dan waktu kita membawa semuanya itu bersama-sama dengan kita, tanpa kita sadari dan tanpa maksud buruk sebenarnya, kita meninggalkan Tuhan di rumah, atau di gereja, atau di Alkitab kita. Kita beribadah, kita melayani, kita berdoa, tapi kita meninggalkan Tuhan dan kembali kepada kehidupan yang tanpa kesadaran akan Allah, tepat setelah semuanya itu selesai. Kita jarang mendekapNya erat-erat serta memohon penyertaanNya dalam sepanjang hari kita beraktifitas. Kita jarang mengharapkan nasehatNya dalam setiap pekerjaan yang kita lakukan. Kita jarang bertanya apa yang menurutNya baik. Tidak, tidak lagi. Dunia dan segala yang menarik di dalamnya telah dengan mudah menjauhkan kita dari Dia yang layak menerima seluruh hidup dan penyembahan kita. Padahal Tuhan membawa kita ke mana-mana, di dalam pikiranNya dan terukir di tanganNya (Yesaya 49:16).
Waktu Tuhan memperlihatkan kenyataan ini kepada saya, hati saya pilu. Saya tahu, saya pun tak terelakkan dari dosa menukar prioritas, dari godaan akan banyak hal yang kasat mata. Lalu tanpa sadar, saya meninggalkan Tuhan di rumah, di dalam Alkitab saya. Saya meninggalkan Tuhan di rumah, bersama dengan lembaran-lembaran tisu yang menampung air mata saya ketika saya berdoa. Seolah-olah saya menyuruh Tuhan tidur siang selagi saya bersenang-senang. Tapi ketika masalah datang, saya akan buru-buru pulang dan membangunkanNya.
John Bevere, dalam khotbahnya yang berjudul Honor’s Reward, menjabarkan arti kata honor (hormat) dari bahasa aslinya, yang berarti menganggap sesuatu berharga. Sedangkan lawan katanya, kata dishonor (tidak hormat) berarti menganggap sesuatu biasa-biasa, tidak berharga. Ketika kita meninggalkan rumah dengan membawa semua benda kesayangan, tetapi lupa membawa Tuhan dalam hati kita, kita sebenarnya sedang tidak menghormati Tuhan. Kita menganggap Tuhan tidak lebih berharga dari benda-benda tersebut. Kita menganggap Dia sebagai Hal yang ‘biasa’. Atau jika kita batal menghadiri doa karena ada acara lain bersama teman, kita akan berkata, “Tuhan pasti mengerti, saya jarang berjumpa dengan teman saya ini”. Ketika kita lebih mementingkan melihat tayangan film di televisi daripada membaca Firman, kita akan berkata, “Tuhan pasti mengerti, yang penting kan hati kita mengasihi Dia”. Bagaimana mungkin kasih dapat eksis tanpa perbuatan? Bagaimana hubungan dapat bertahan tanpa komitmen?
Dalam khotbahnya, John Bevere juga menjelaskan mengapa di negara-negara maju, seperti Amerika, tidak banyak mujizat terjadi? Jawabannya sederhana, sebab tidak ada penghormatan kepada Allah. Bandingkan dengan di Afrika, tempat nabi-nabi seperti Reinhardt Bonnke melayani, mujizat terjadi dengan mudahnya. Orang-orang mati dibangkitkan, penyakit mematikan dan kelainan-kelainan fisik disembuhkan. Karena orang-orang di sana –mungkin oleh latar belakang perbudakan yang pernah mereka jalani– tahu benar bagaimana menghormati Tuhan. Mereka benar-benar menyembah Tuhan dengan segenap hati dan kemampuan mereka. Mereka tahu bagaimana berlaku sebagai hamba. Sedangkan masyarakat di kota besar dan negara-negara maju yang sudah sering mendengar khotbah tentang kasih karunia, menganggap Tuhan sebagai Sahabat, sampai kadang menjadi terlalu berlebihan, sehingga kita merendahkan nilai Allah. Dalam arti kita lupa bahwa Ia adalah Tuhan Allah, Raja kita, Sang Pencipta yang tahtaNya lebih tinggi dari langit. Bahkan di dalam doa kita seringkali lupa bahwa kita sedang berbicara kepada Allah. Kita akan menjadi pihak yang lebih banyak bertanya, meminta, dan mengharapkan tindakan-tindakan cepat dari Tuhan. Banyak dari kita yang berpikir kita tak dapat mendengar Allah. Mungkin sebenarnya, kita yang tak pernah memberi Allah kesempatan untuk berbicara. Doa menjadi pembicaraan satu arah karena kita menginginkannya demikian.
Mari, saya mengajak Anda hari ini untuk kembali menghormati Tuhan dan menempatkan Allah di tempat yang layak bagiNya, di atas tahta kemuliaan, bukan di urutan terakhir dalam daftar kebutuhan kita. Dan mari kita belajar memiliki hati hamba, yang sadar bahwa sebenarnya kita tak layak mendapat kasih dan penerimaan Allah, namun hanya karena pengorbanan Yesus di kayu salib untuk menebus semua dosa kita, sehingga kita boleh memanggilNya “Abba, Bapa”.
Alkitab jelas mengatakan kita harus hidup takut dan gentar akan Allah. Jadi meski Ia panjang sabar dan penuh kasih karunia, Allah Maha Kasih yang mengampuni dan melupakan pelanggaran-pelanggaran manusia, marilah kita tidak menguji kesabaranNya, namun menaruh penghormatan yang penuh kepada Allah sebagaimana mestinya.
“Tetapi TUHAN semesta alam, Dialah yang harus kamu akui sebagai Yang Kudus; kepada-Nyalah harus kamu takut dan terhadap Dialah harus kamu gentar”. –Yesaya 8:13
Leave a Reply